Rabu, 19 Juni 2013

Aku Rindu Mic, Mixer dan Panggung



siaran di atas Gajah bernama Salamah dalam program bukan siaran biasa



1998, aku pernah sangat ingin menjadi seorang penyanyi, saat itu aku berpikir bahwa hanya menyanyilah yang disebut bakat, yang lain tidak. Pemikiranku yang sempit sekali! Saat itu aku terus membayangkan diriku berada di atas panggung megah sedang memegang mic, aku sedang bernyanyi menggunakan gaun cantik, kemudian menerima riuh tepuk tangan dan bunga cantik ketika aku selesai bernyanyi, dalam bayanganku.
Aku lalu mewujudkan bayanganku, aku di terima dalam kelompok paduan suara sekolah. Tapi bernyanyi berkelompok bukanlah yang ada di bayanganku, jadi aku nekat mewujudkannya dengan bernyanyi solo saat ada gelaran pentas seni sekolah. Aku membawakan lagu berjudul Mother How Are You Today dan Panggung Sandiwara. Hasilnya payah tapi sejak itu aku jadi sadar diri bahwa aku tidak bisa bernyanyi, aku tidak berbakat dan aku tahu suaraku tidak layak untuk bernyanyi. Saat itu, ada seorang kakak kelas, aku lupa siapa namanya tapi aku ingat wajahnya, dia sengaja naik ke atas panggung menyerahkan bunga layu plus daun kering setelah aku bernyanyi. Rasanya malu sekali hingga aku ingin berlari jauh dari panggung ketika para penonton ikut berteriak “huuuuuuu” serempak tanpa di komando. Kini hal itu justru terasa lucu saat mengingatnya kembali walau pun sejak saat itu aku jadi agak takut untuk bernyanyi, takut pada panggung dan aku tidak mau menyentuh mic karena mentalku mental tahu.
Di tahun yang sama, aku menjadi seorang pendengar aktif salah satu radio anak muda kenamaan di kota Bandung akibat pengaruh sahabatku. Setelah itu aku semakin tertarik pada dunia radio dan ketertarikanku membuatku ingin tahu lebih banyak tentang serba serbi dunia radio.
2004, ketertarikanku akhirnya menarikku untuk benar-benar masuk ke dunia radio. Tidak hanya menjadi pendengar tapi aku mau menjadi seorang penyiar. Untuk bisa menjadi penyiar, maka aku mengikuti latihan di sebuah tempat pelatihan siaran kecil di jalan Emong, Karapitan, Bandung. Sayangnya tempat itu kini sudah tidak ada lagi. Di sini, aku bertemu kembali dengan mic namun mic kali ini memiliki konsep yang berbeda dalam pikiranku, kali ini mic kugunakan untuk berbicara bukan untuk bernyanyi. Setelah itu, mic tidak lagi menakutkan tapi justru malah menjadi akrab denganku.
Setelah usai mengikuti pelatihan siaran, aku belum benar-benar menjadi penyiar karena belum ada radio yang menerimaku. Umumnya, penyiar sering kali merangkap menjadi seorang pemandu acara atau biasa disebut MC (master of ceremony). Dan aku sudah lebih dulu menjejakkan kakiku di atas panggung kecil sebagai MC walau saat itu aku belum siaran. Berawal dari Tria, seorang kawan di tempat pelatihan yang menawariku menjadi MC untuk acara gathering karyawan sebuah perusahaan kayu dari Kalimantan yang di adakan di Lembang pada tanggal 15 Januari 2005 dengan bayaran Rp. 50.000,-. Bayaran yang kecil untuk sebuah perusahaan besar di sebuah hotel besar, tapi maklumlah, saat itu aku adalah MC pemula yang di tipu harga oleh panitia! Saat itu aku menjadi MC di atas sebuah panggung kecil, itu menjadi perkenalan pertamaku dengan panggung dalam fungsi sebagai pemandu acara, bukan penyanyi.
Setelah itu, aku mulai mengikuti pelatihan public speaking di jl.Sulanjana, Bandung, sayangnya tempat ini juga sudah tidak ada. Di sini, aku mendapat tawaran dari salah satu pelatih sekaligus pemilik tempat pelatihan untuk memandu acara promosi salah satu produk yang menyediakan bedak untuk anak remaja juga aneka perlengkapan bayi di salah satu mall di kota Bandung. Aku berduet dengan Farah, mahasiswi fakultas ilmu komunikasi dengan bayaran Rp. 250.000/hari.
Aku mendapat tawaran MC untuk yang ke tiga kalinya di sebuah tempat hiburan malam di kawasan Braga bersama Alny. Kami memandu sebuah acara pagelaran rutin distro-distro Bandung. Kemudian setelah itu, tawaran demi tawaran MC kembali datang. Tawaran yang datang memang tidak banyak seperti para MC laris lain di kota Bandung tapi selalu saja ada walau hanya 1 atau 2 tawaran dalam satu bulan, tentunnya dengan tarif yang ikut meningkat sesuai kesepakatan.
Aku menjadi MC untuk berbagai acara, mulai dari acara ulang tahun, acara hiburan 17 Agustus, pernikahan, pagelaran music, gathering, acara hiburan yang di gelar oleh pihak pemerintah, memandu acara di mall, promosi produk juga pentas seni di berbagai SMP, SMA juga kampus. Dari salah satu kampus yang menggunakan jasaku, pernah ada yang tidak membayarku karena aku aku berkomunikasi dengan orang yang salah yaitu orang yang aneh dari salah satu panitia yang tidak bertanggung jawab.
Saat menjadi MC, aku akan tenang pada acara-acara khusus tapi aku akan bergerak kesana kemari tak mau diam, bebas lepas tanpa batas jelas jika sedang mengisi acara hiburan. Aku merasa ‘kawin’ dengan panggung. Aku ‘kerasukan’ di atas panggung, ini membuatku menyukai panggung, membuatku rileks dan kembali tidak tahu diri karena sesekali aku sering bernyanyi. Tidak ada teriakan huuuuu atau bunga konyol saat aku bernyanyi, justru itu menjadi hal yang lucu dan mengundang tawa penonton. Jika ada kesempatan maka aku akan bernyanyi membawakan lagu favorit andalanku yaitu Mabok Janda dan Mandi Madu. (Parah!)
Setelah pernah akrab dengan perangkat alat siaran atau mixer sederhana di tempat pelatihan siaran yang masih menggunakan winamp untuk memutar musik, maka tahun 2005 menjadi awal perkenalanku dengan mixer besar dan rumit bersama perangkat siaran lain yang lebih canggih bukan winamp di salah satu radio besar, saat itu radio itu adalah radio peringkat nomor 6 di kota Bandung berdasarkan hasil survey AC Nielsen. Setelah melewati tahap training yang panjang, hari itu tanggal 3 September 2005, dengan terbata-bata aku berbicara sendiri di depan mic pada pukul 02:00 dini hari, itu adalah hari pertama kali aku siaran. Anak baru sengaja di tempatkan di tengah malam untuk menghindari beberapa resiko akibat gugup. Ya, aku gugup luar biasa saat itu, jantungku berdegup kencang melebihi kencangnya detak jantung saat mau menyatakan cinta. Tanganku gemetar sehingga sering salah menekan tombol mixer. Kondisi siaran pertamaku payah, tapi menjadi semakin baik setiap harinya hingga aku dipanggil oleh radio peringkat nomor 2 di Bandung lalu akupun pindah pada tahun 2008.
Sejak 2005, hari demi hari dalam hidupku di isi dengan ‘berkicau’! Bukan kicauan semerdu suara burung atau kicauan lewat kata-kata di twitter. Ini kicauan audio di radio atau kicauan heboh di atas panggung. Entah orang lain menilai seperti apa suaraku, tapi beberapa pendengar menyebutku ‘bencong’ karena suaraku seperti suara laki-laki. Sebagian pendengar lainnya yang kebanyakan laki-laki, menyebut suaraku sebagai suara yang menggoda hingga membuat mereka berfantasi, entah mana yang benar tapi aku paham karena aku juga pernah jadi pendengar.
Selama di dunia radio, aku mulai belajar banyak hal. Aku belajar memainkan suaraku, belajar memainkan intonasi, belajar mempercantik artikulasi, belajar memoles ekspresi dan gerak tubuh, belajar menjadi pengisi suara/voice over, belajar out of the box/berpikir lain dari orang kebanyakan, belajar tentang adlibs/iklan yang dibacakan saat siaran, belajar theatre of mind/berimajenasi, belajar punchline/akhir kalimat yang bermakna khusus, belajar bridging/menyambungkan satu topik ke topik lain yang berbeda, belajar berkreatif, belajar mengarang lagu untuk jingle, belajar ilmu komunikasi secara tidak langsung, belajar chart/tangga lagu, belajar jurnalistik, belajar jadi reporter, belajar menyampaikan berita dari bahasa Koran ke bahasa ngobrol biasa, belajar dialog interaktif, belajar berbicara di atas nada (outro, intro, dan baksound) juga belajar tentang banyak hal lainnya yang masih tetap bermanfaat hingga kini.
2011 aku memutuskan untuk meninggalkan dunia radio atau tepatnya di paksa keluar oleh situasi. Aku menekan hatiku untuk tidak merindukan mixer dan mic hanya karena satu kenangan buruk. Tapi aku masih akrab dengan panggung dan mic karena aku masih tetap menerima tawaran MC hingga akhirnya aku jatuh sakit November 2012 lalu. 6 tahun berteman dengan mixer dan mic, juga 7 tahun mengakrabi mic dan panggung, jujur aku katakan bahwa kini aku merindukan mic, mixer dan panggung.
Sebelum sakit aku sempat menerima tawaran untuk menjadi MC pada pernikahan seorang teman di bulan Januari lalu, tapi stroke lebih dulu datang di bulan November 2012. Aku bersikeras untuk tetap melaksanakannya tapi aku harus sadar diri akan kondiisiku. Itu tidak mungkin untuk saat itu, tapi kini kondisiku sudah lebih baik dan aku benar-benar rindu berada di atas panggung sambil memegang mic. Aku rindu menjadi seorang pemandu acara aku rindu panggung dan mic. Aku rindu memandu acara di gedung, di pasar, di lapangan luas, panggung besar atapun panggung kecil.
Selama ini, aku akui bahwa aku menekan rasa rindu pada mic dan mixer hanya karena sebuah kenangan buruk, tapi kini aku tak bisa lagi mengelak bahwa sebenarnya aku juga benar-benar merindukan mic dan mixer. Aku rindu bicara sendiri bersama dunia imajinerku, aku rindu merangkai kata memainkan suara, aku rindu iklan, smash dan jingle. Aku rindu memutarkan lagu pilihan setiap orang, rindu membacakan sms pendengar, juga rindu menggoda penelpon yang ikut on air. Aku rindu pendengarku berkata “Suaramu menggoda tapi wajahmu menipu!”
Kini, setiap kali mengantar Ononk kekasihku siaran, aku selalu di dera rasa rindu. Aku sangat ingin siaran setiap kali Ononk siaran. Aku ingin siaran di salah satu radio yang bahkan tak masuk urutan 10 besar radio Bandung. Entah karena apa tapi aku maunya siaran di radio itu, aku sudah memimpikannya sejak tahun 2005.
Aku rindu mengintervieu selebritis dengan segala macam tingkah lakunya padahal dulu di radio pertama dan yang kedua, aku selalu benci setiap kali program director atau music director memberi tahuku bahwa akan ada interviu di program siaranku. Ini karena aku tidak suka para selebritis, hehe. Hanya sedikit dari selebritis yang memberi kenangan manis saat kuinterviu.
Diantaranya Rama dan personil Nidji lainnya adalah yang paling memberi kesan terdalam karena mereka sungguh sangat-sangat gokil sayang Giring tak hadir saat itu. Afgan sangat asyik, dia benar-benar sederhana dan membumi. Band Netral membuatku kacau karena aku gugup melihat Eno sang drummer pujaanku. Burgerkill adalah yang paling nendang. Iis Dahlia ramah sekali. Ine Chintia itu ternyata gokil. Ridho Rhoma dan Cathy Sharon itu lucu. Kahitna yang paling mantap. Java jive tidak ada duanya.
Sebagian yang lain membuatku malas karena beberapa adalah artis atau penyanyi yang kurang terkenal tapi gaya sudah selangit. Sebagian lagi malah membuatku kesal karena mereka memang artis atau penyanyi terkenal yang agak angkuh dan bersikap agak menyebalkan. Selebihnya, ya biasa-biasa saja. Semenyebalkan apapun sebagian mereka, ternyata kini aku malah merindukan mereka semua. Semoga nanti, entah dengan cara seperti apa, aku akan kembali menikmati hal-hal itu.
 
 
 
Bakat bukan hanya dalam satu bidang, saat kau tidak berbakat di bidang yang satu, mungkin kau justru berbakat di bidang yang lain.
Sesuatu yang sangat kau inginkan, justru bisa menjadi sesuatu yang menyakitkanmu tapi percayalah, apa yang menurutmu buruk saat ini, bisa menjadi lucu dikemudian hari
Ketika kau terlalu serius pada sesuatu, bisa jadi itu malah akan memberatkanmu. Namun kadang ketika kau menjadikannya biasa saja, itu malah akan meringankanmu dalam melakukannya.
Semua penyiar bisa menjadi MC tapi tidak semua MC bisa siaran

penyiar radio-radio bandung @coaching clinic Eko Junor

 MC untuk pameran bordir&handy craft Dinas Koperasi Jabar 2010

 kangen mixer
 
siaran di puncak Masjid Agung Bandung dalam program bukan siaran biasa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar