Minggu, 25 Maret 2012

dance with my father again



If I could get another chance
Another walk, another dance with him,
I'd play a song that would never ever end
How I'd love love love, to dance with my father again

When I and my mother would disagree
To get my way I would run from her to him
He'd make me laugh just to comfort me(yeah, yeah)
Then finally make me do just what my momma said
Later that night, when I was asleep
He left a dollar under my sheet
Never dreamed that he would be gone from me


Saat ini aku begitu merindukan Ayahku yang selalu penuh solusi bijak. Lagu Dance with my father again dari Luther Vandos seolah menjadi backsound yang pas. Tiba-tiba saja hujan turun saat aku sedang termenung padahal sudah satu minggu ini Bandung tanpa hujan. Suasananya jadi begitu sempurna, membuat ingatanku kembali ke masa 3 tahun yang lalu tepatnya 6 September 2009.

Setiba di rumah, aku melihat ada pemandangan yang tidak biasa. Semua berkumpul mengelilingi Papah "Papah kenapa Mah?" Tanyaku.
"Nggak tau lah Mamah, ditanya kenapa nggak jawab. Papah nggak bisa ngomong!” Jawab Mamah dengan wajah tenang.
Ya, wajah perempuan hebat ini selalu tenang saat dihadapkan pada masalah tersulit sekalipun karena dia sudah menguasai dirinya dengan kesadaran penuh akan apa yang sedang ia alami tapi tetap saja aku melihat wajahnya menyiratkan kekhawatiran mendalam yang coba ia sembunyikan dari siapapun.
Ya, 3 tahun lalu Ayahku terkena serangan Stroke, selama beberapa bulan dia tidak mampu berjalan, tangannya sulit digerakkan dan kemampuan berkomunikasi nya berkurang drastis karena masalah pada suaranya. Dia mampu berbicara, tapi hanya kata-kata terakhir yang dia dengar yang mampu dia ucapkan. Dia bisa berpikir namun otak dan lidah tidak singkron dan dia akan kelelahan saat berjuang hanya untuk sekedar menyampaikan keinginannya. Untuk minta di antar pergi ke satu tempat yang dia mau saja bisa membutuhkan proses 1 hingga 2 jam agar kami bisa mengerti maksudnya.

Aku menjauhinya saat itu karena aku membenci situasi.
Sulit?? tentu tapi ini pasti lebih sulit baginya.
Sedih?? jelas tapi ini pasti lebih menyedihkan baginya.
Akhirnya aku sadar bahwa aku tidak boleh menjauh darinya, dia membutuhkan dukunganku. Setiap pagi aku mulai memijat kakinya diteras rumah sambil berjemur dan aku akan berkata padanya “Papah harus bersyukur, karena Tuhan ngasih Papah kehidupan ke-2 dan ngasih kesempatan Papah untuk belajar lagi. Setiap manusia itu kan mengalami proses belajar Pah mulai dari belajar ngomong, proses belajar jalan dan proses belajar lainnya dari mulai waktu masih bayi dan itu yang Papah alami saat ini. Jadi, kalau waktu Papah masih anak-anak saja Papah bisa melewatinya, sekarang pasti bakal lebih mudah untuk Papah melewati ini semua! Anak kecil itu kan selalu tanpa dosa Pah dan mudah-mudahan penyakit ini menghapuskan dosa-dosa Papah!” Dan kata-kata itu ternyata manjur dan mampu membuatnya tersenyum sambil mengacungkan jempolnya pertanda setuju.
Dulu dia adalah laki-laki hebat (kebanyakan setiap anak akan merasa Ayahnya lah yang terhebat dan begitu pun denganku!) kini pun dia tetap yang terhebat. Tidak kenal menyerah, gigih berjuang untuk kami dan selalu memberikan ketenangan jika istri atau anak-anaknya mengalami masalah. Entah dari mana datangnya ketenangan pada dirinya, tapi itu adalah sikap yang aku selalu ingin tiru agar bisa sama dengannya.

Selama ini, Papah selalu bisa memberikan petuah-petuah bijak atas semua masalah yang aku alami tapi kini dia benar-benr seperti anak-anak. Mudah marah, manja dan terlebih tidak bisa berkomunikasi karena gangguan pada pita suaranya.

Sekarang aku begitu membutuhkan dia untuk berbincang denganku. Aku ingin menceritakan semua kebingunganku, semua kekecewaanku pada diriku sendiri karena aku tidak menjadi perempuan yang tulus, karena aku belum sepenuhnya meringankan beban Ibuku ("Maafin aku Mah!"), karena aku telah gagal menjaga adik2ku dari orang jahat bahkan dari diriku sendiri ("Maafin kaka ya Gu, Na, Nda, Rif!") dan betapa aku ingin bertanya banyak hal tentang pernikahan. Papahhhhhhh,, aku kangen. Kangen solusi bijak Papah. Maafin aku Pah, cepet sembuh ya Pah.





Ya Allah, aku mohon jaga mereka yang kusayangi Ya Allah. Rencanamu yang terbaik dan mudah2an kesembuhan Ayahku ada dalam rencanaMu. Sehatkan Ibuku dan tambahkan ketabahan dihatinya. Jauhkan adik-adikku dari orang-orang yang berniat jahat dan dari marabahaya ya Allah. Aamiin ya rabbal alamin.


Minggu, 18 Maret 2012

no self discount


Ononk, begitu biasa aku memanggilnya. Hari ini aku jadi tertarik untuk membicarakannya. Sulit sekali memahami laki-laki satu ini. Sepertinya aku lebih mudah mencerna apa itu ilmu Statistik yang paling kubenci. Tapi nggak gitu-gitu amat sih sebenernya #plin-plan! Sebetulnya sih dia itu lembut dan lugu jika benar-benar mau mengenalinya dan sebenarnya agak wajar jika dia bersikap seperti ini dengan apa yang sudah dia alami dan apa yang saat ini sedang dia hadapi.

Dia sendiri, tidak ada pegangan bahkan Tuhan yang jelas-jelas seharusnya menjadi penolong pun tak ia datangi untuk mencoba berbincang mesra dengan si empunya hidup juga yang menggenggam jiwa. Sepertinya itu belum menjadi pilihannya saat ini.

Dia masih akan membawa pikirannya bersama dengan segala macam kesulitan yang ada, membuatnya sedikit agak terlihat membaik padahal sebenarnya, tanpa ia sadari, dia justru sedang membuatnya semakin kusut.

Yang dia butuhkan saat ini adalah ketenangan dalam berpikir, mengendalikan pikirannya dan tidak memenjarakan dirinya dalam pikirannya! Andai ia mau melakukan itu dan aku harap sang khalik mau menunjukkannya cahaya untuk mengetahui dirinya sendiri yang telah banyak ia discount selama ini. 

Gambaran diri Ononk saat ini ibarat seseorang yang sedang bekerja keras untuk mengangkat air dari sungai hingga ke rumahnya yang berjarak kiloan meter dengan menggunakan 2 ember bervolume 20 liter ditopang kayu panjang pada pundaknya. Dia bekerja tanpa lelah kesana kemari menguras tenaga tapi dia lupa memperhatikan ember yang dia gunakan. Ternyata ada lubang disana berdiameter hampir 0,8cm yang membuat air keluar perlahan sehingga air yang penuh saat di ambil dari sungai, ternyata saat ia tiba di rumah isi ember bahkan tidak mencapai setengahnya. Padahal dia sudah berjalan jauh mengangkutnya dengan lelah, susah payah dia berjalan kerumah.

Kesal? Itu sudah pasti! Tapi sepertinya dia lupa atau mungkin tidak tahu bahwa emosi yang dikeluarkan dengan marah-marah, mengumpat, mencaci atau memaki tanpa henti kemudian pergi dari permasalahan untuk mengalihkan pikirannya justru tidak akan pernah membuat masalah jadi beres.

Bukankah bak tidak akan menjadi penuh jika meninggalkan masalah yang ada saat mengisinya? Jika ember yang digunakan untuk mengangkut air saat mengisi bak itu ternyata bocor, bukankah bocor itu bisa di tambal dengan caranya tersendiri? Karena aku pernah melihat ibuku menambal ember atau kenapa tidak ganti embernya?  (^_^) Lalu setelah itu, dia kan bisa kembali menyelesaikan tugas mengisi bak hingga penuh. Barulah dia bisa duduk santai atau pergi mengerjakan yang lain atau mungkin pergi kembali ke sungai untuk menikmati betapa segarnya air sungai saat mandi disana. 

Sungai yang tadinya tampak menyebalkan karena jaraknya yang begitu jauh dan bayangan menyiksa karena tugas yang membebani, bisa jadi tampak akan menyenangkan jika sungai itu di datangi tanpa beban tugas tadi. Jadi bukan sungainya yang bermasalah tapi pikiranmu saat mengujunginya lah yang jadi biang kerok.

Well, seperti apapun dirinya aku tetap mencintainya karena aku tahu dia sejatinya punya banyak kemampuan hanya saja dia belum menyadarinya. I love you Ononk, semoga kau temukan jalan terang itu dan mungkin aku bisa terus mencoba menjadi terang untukmu seperti kau menjadi terang untukku wahai lenteraku.