Ada
seorang laki-laki yang selalu menarik perhatian setiap kali aku datang
ke klinik terapi akupuntur. Laki-laki itu berbadan kecil, tingginya
kira-kira 150cm, dia sudah tua tapi semangatnya tetap muda. Belakangan,
akhirnya aku tahu namanya adalah Hendi Arto yang berusia 60 tahun dan
biasa kami panggil Om Hendi.
Dia
datang ke klinik untuk mengantar Tante Vony istrinya guna mengikuti
terapi setiap satu atau dua kali dalam seminggu. Selama Tante Vony di
terapi atau menunggu giliran di terapi, Om Hendi akan dengan sigap
merapihkan sandal-sendal milik pengunjung yang berserakan di teras
klinik sambil bernyanyi dan tanpa malu-malu. Dia bilang “Rapih itu
indah!” dan bagiku perbuatannya itu adalah hal yang hebat.
Om
hendi selalu menyapa setiap orang dengan lantang, ucapan salam nya
selalu khas “SEMANGAT PAGI!” Di ucapkan penuh semangat sambil tersenyum
dan menunjukkan kepalan tangan kanan bak seorang pejuang. Laki
perempuan, tua muda, kenal atau pun tidak, semua dia sapa. Pagi, siang
atau pun sore kata-katanya tetap sama “SEMANGAT PAGI!”
Umumnya,
semangat pagi hari adalah semangat yang menggebu-gebu untuk memulai
hari dan biasanya semangat itu akan mulai hampir hilang bersama
terbenamnya matahari kemudian tubuh akan meminta jatah istirahat setelah
lelah seharian. Tapi tidak pada lelaki tua itu, dia terus memiliki
semangat pagi walaupun hari sudah hampir petang.
Istrinya
Tante Vony adalah perempuan cantik yang selalu tersenyum dan kaki
kirinya selalu saja bergetar. Aku merasa aneh saat pertama kali melihat
kakinya yang tak mau diam itu. Tante Vony tidak pernah dibaringkan
ditempat tidur saat di terapi karena kesulitan untuk beranjak, dia
selalu duduk di kursi rodanya saja.
Om
Hendi bercerita bahwa Tante Vony yang sekarang berusia 63 tahun,
terserang stroke akibat hipertensi pada tanggal 18 mei 2008. Pembuluh
darahnya pecah dan menyebabkan kesulitan fungsi gerak pada tubuh bagian
kirinya dan di rawat selama berhari-hari di rumah sakit. Setelah
serangan stroke Mei 2008, Tante Vony sudah sempat bisa berjalan namun
karena terjatuh saat beraktivitas, sekarang kondisinya semakin parah
hingga kesulitan berdiri dan kakinya terus menerus bergetar.
Om
Hendi dan Tante Vony sudah menikah puluhan tahun dan hanya tinggal
berdua karena tidak dikaruniai anak. Keduanya kini tidak lagi bekerja
dan sudah banyak harta yang habis untuk biaya hidup dan pengobatan. Kini
mereka hidup dengan bantuan kasih dari adik-adiknya.
“Om kesini naik apa?” tanyaku
“Naik Mersi!” ucapnya, kemudian dia melanjutkan kata-katanya “Tahu nggak apa Mersi?”
“Mobil?” tanyaku heran
“Bukan, mersi itu mamerin istri.
Kan istri om duduk di kursi roda trus tongkatnya diselipin buat nahan
biar istri om ga jatuh! Nah Om dorong deh dari rumah sampe sini. Itu
namanya MERSI kan istri Om cantik!”
Pantas!
Selama ini aku selalu aneh karena Tante Vony duduk di kursi roda tapi
selalu bawa tongkat, ternyata untuk penahan toh! pikirku.
Om
Hendi bilang dia datang dengan berjalan kaki sambil mendorong istrinya
dari rumahnya di Komplek Kopo Permai blok C ke tempat terapi di
Sukamenak Indah blok N yang jaraknya kurang lebih 3 km.
Perjalanan
mereka tempuh selama 1 jam 10 menit jika cuaca cerah dan jadi 1 jam 45
menit jika hujan. Medan yang dilalui juga tidak semuanya mulus karena
banyak jalan berlubang yang mereka lewati, terkadang Om Hendi terjatuh
sehingga sering di marahi Tante Vony beberapa kali. (Maklumlah penderita
stroke memang beberapa agak manja, emosian dan sensi kayak gw!)
Cerita
terus berlanjut, Om Hendi membagi banyak kisah nya saat dulu bekerja,
saat Tante Vony sakit juga cerita mereka kini. Om Hendi selalu bilang
bahwa dia mencintai istrinya dan itu terlihat dari kesetiaannya
mendampingi Tante Vony.
Sehari-hari
mereka hanya memasak ½ kg beras untuk 2 kali makan. Untuk lauknya, Om
Hendi akan membeli tahu goreng di tukang pecel lele sebanyak 10 buah dan
itu bisa untuk lauk makan siang dan malam. Om Hendi bilang “Jika semua
dilakukan dengan cinta, maka kesulitan akan terasa indah. SEMANGAT
PAGI!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar