apakah kami ini rakyat?
Iklan
tentang kenaikan BBM semakin gencar dan menyentuh ya. Bagussss, kerennn
banget iklannya sampai-sampai saya ingin bilang “Ayo Om Tante yang
mewakili rakyat, yang duduk di bangku pemerintahan, cepet naikin BBM nya
terus sejahterakan dan bangun deh tuh rumah bapak ibu yang ada di iklan
dan yang lainnya. Kalau rumahku sih ndak usah. Rumahku kan ‘megah dan
mewah’!”
Lagi
semangat pengen dukung BBM naik, eh para tetangga yang lagi ngumpul di
depan rumah justru lagi heboh ngomongin harga jengkol Rp.60.000,-/kg,
wortel Rp.12.000,-/kg, Bawang merah Rp.40.000,-/kg (itu harga pasar
Sayati yang terdekat dari rumahku lho ya!) belum lagi harga-harga
lainnya yang juga ikut merangkak naik setelah ada rencana bbm naik.
“Bbm
nya belum naik harga sudah naik apa lagi kalau benaran naik, sedangkan
pedapatan segitu-gitu aja. Yahh ngutang lagi deh!” ucap beberapa orang
ibu. Di sini, di tempatku tinggal, rata-rata mereka bekerja sebagai
penarik becak, buruh pabrik, pedagang bubur, kupat tahu dll. Lalu apakah
mereka termasuk rakyat yang akan mendapat bagian dari pengalihan
subsidi itu? Atau mereka bukan bagian dari rakyat?
Tetangga
lain yang bekerja dengan gaji yang cukup juga memiliki mobil, sama
mengeluh juga “Kalau Bbm naik berarti biaya pengeluaran akan bertambah
sedangkan penghasilan tetap sama, harus muter otak nih untuk cari
penghasilan tambahan!” Ah keluhan yang ini sih abaikan saja, kan punya
mobil berarti orang kaya dan bukan rakyat, betul tidak? Kasihan ya,
padahal tetanggaku itu memiliki mobil untuk digunakan dalam bekerja
bukan sebagai ajang pamer kekayaan dan bukan salahnya jika dia memiliki
rezeky lebih yang digunakan untuk membeli mobil yang sebenarnya juga
nggak bagus-bagus amat.
Yang punya motor juga pada ngeluh tuh dan mau naik kendaraan umum saja katanya tapi kendaran umunya nggak asyik dan nggak OK.
Eh
ada 2 orang bijak datang lalu berkata “Sudah jangan banyak mengeluh,
syukuri apa yang di dapat, kalau rezeky nggak akan kemana!” ucapnya.
Bener juga sih tapi kok tangan rasanya gatel pengen ngambil bata dan
nimpukin ke kepalanya ya! Dia itu kan salah satu wakil rakyat di daerah
ini yang rezekinya nggak pernah kemana-mana karena jika setiap subsidi
dari pusat untuk rakyat di turunkan maka akan nyangkut dulu di sakunya.
Tapi dia bukan koruptor lho, dia orang bijak dan terpandang di kampung
ini dan dia itu adalah rakyat kelas atas yang wajib terima subsidi dalam
bentuk apapun karena dia wakil rakyat. Orang bijak yang satunya lagi
adalah seorang jutawan sang juragan pemilik pabrik yang bersahabat karib
dengan si wakil rakyat. Dia lebih terpandang lagi karena dia adalah
pengusaha yang juga akan terkena dampak dari kenaikkan Bbm. Kata wakil
rakyat itu, kalau para buruh minta naik gaji, bisa-bisa pabrik tutup dan
yang lain kehilangan pekerjaan.
Kupikir,
itu mungkin karena dia emoh membagi keuntungan besarnya untuk menambah
gaji karyawan dan wakil rakyat itu akan berkurang pemasukannya dari si
pemilik pabrik jika gaji karyawan dinaikkan. Dari pada pabrik tutup dan
banyak pengangguran, jadi terima saja gaji yang seadanya. Ok aku ngerti,
batu bata ku taruh lagi karena berurusan sama orang-orang bijak itu
juga sama dengan bunuh diri.
Jadi gimana dong? Dukung nggak nih Bbm naik? AKU GALAUUUUUUUUUUUU
Sepertinya aku nggak jadi mendukung. Kalau kebijakan itu untuk rakyat, rakyat yang mana ya?
Apa
untuk jadi bagian ‘rakyat’ itu ada kategori-kategori khusus? Misalnya
badan kurus karena kurang gizi, sakit parah dan tidak mampu berobat ke
rumah sakit, rumah reot terbuat dari kardus, punya cerita kemiskinan
yang bisa menguras air mata.
Haloooo
kalau seandainya rumahnya reot terus punya motor nggak masuk kategori
ya? Atau kalau bekerja tapi punya tumpukan hutang itu juga nggak masuk
kategori ya? Terus kalau punya cerita kemiskinan tapi nggak di ekspose
dan selalu tersenyum juga nggak termasuk kategori ya?
Terus
masuk atau pun tidak ke dalam kategori ‘rakyat’ kenapa kok merasakan
dampak yang sama ya kalau Bbm naik kecuali seperti si orang bijak kali
ya bo!
Rasanya
Om Tante terlalu sering mencatut nama rakyat tapi nggak jelas rakyat
yang mana. Dulu juga reformasi 98 mengatasnamakan rakyat tapi nggak tahu
rakyat yang mana karena para orang tua disekitarku juga tidak pernah
mendukung bahkan lebih memilih era ORBA sampai-sampai pake kaos Dagadu
bertuliskan “ENAKAN ZAMANKU THO!” yang ada gambar Kakek Suharto sedang
tersenyum. Sekarang setiap membuat kebijakan ini itu juga pakai nama
rakyat tapi rakyat yang mana ya? Kalau untuk rakyat miskin, apa dong
kategori miskin nya? Karena saya ini katanya orang miskin tapi maaf
mentalku tidak miskin dan ogah juga ngaku miskin tapi nggak mau juga
kena dampak hehehe.
Rakyat,
rakyat, rakyat. Ribet bener sih jadi rakyat di negri ini! Seseorang
datang dan berkata “Itu bukan untuk rakyat Sutri tapi untuk kepentingan
golongan dan segelintir orang.” Masa sih? Tanyaku dalam hati.
Bukan kah semua orang yang tinggal di nusantara ini adalah rakyat? Kaya
miskin juga rakyat dan harus sama-sama mendapat perhatian sesuai
porsinya masing-masing dengan imbang.
Kalau
hanya memperhatikan yang masuk kategori rakyat miskin dan mengabaikan
rakyat tidak miskin tapi juga tidak kaya namun banyak kebijakan yang
membuat kerugian maka justru hanya akan menambah jumlah orang baru yang
akan masuk kategori miskin dan jadilah negeri ini negeri rakyat miskin
sementara orang-orang seperti si orang-orang bijak wakil rakyat dan pemilik pabrik yang justru malah akan semakin makmur saja. GOOD JOB!
Rakyat,
rakyat, rakyat kok jadi inget slogan yang di kasih tahu Pak Guru waktu
sekolah ya “DARI RAKYAT, OLEH RAKYAT, UNTUK RAKYAT” di pikir-pikir nggak
ada kata WAKIL RAKYAT di slogan itu. Entah RAKYAT MANA YANG MEREKA
WAKILI karena mereka hanya membela partai, pemilik pabrik, pemilik rumah
sakit swasta, pemilik perusahaan ini itu. Terus kenapa pakai nama wakil
rakyat ya?
Om
Tante Wakil Rakyat atau pun pemimpin kami tercinta yang tak kucintai,
silahkan saja lakukan kebijakan apapun di negeri ini, suka-suka kalian
lah tapi jangan catut nama rakyat. Bbm naik taupun tidak toh kami tetap
saja semakin susah. Jujurlah tentang siapa yang kalian wakili atau untuk
siapa segala kebijakan itu.
Om
Tante, tahu tidak waktu zaman penjajahan semua rakyat Indonesia, tua
muda, kaya miskin, laki perempuan, kata ‘sejarah’ semuanya bersatu
untuk menumpas penjajah karena adanya persamaan rasa senasib
sepenanggungan. Jangan sampai rakyat bersatu menumpas penjajah bernama
wakil rakyat yang tak membela rakyat, yang tidur pas rapat, sibuk nonton
film porno, wara wiri nggak jelas ke sana sini atau apa pun lah, atau
mungkin kami akan langsung meminta tanggung jawab pemimpin yang membuat
kebijakan tanpa nurani dan merugikan dengan cara kami sendiri karena
kami akan sama-sama mulai muak dengan bualan kalian tentang rakyat yang
pada akhirnya kemuakan itu akan membuat kami jadi bersatu.
Bisa
saja kami bersatu karena rasa senasib sepenanggungan menumpas kalian
tanpa harus diwakili partai, mahasiswa, organisasi atau apa pun tapi
benar-benar DARI RAKYAT OLEH RAKYAT UNTUK RAKYAT TANPA PERLU RAKYAT
DIWAKILI
Tapi
itu sih kalau rakyat bersatu ya Om Tante soalnya dari zaman Om Iwan
Fals nyanyi lagu tentang wakil rakyat sampai sekarang, rakyat-rakyat
lagi terpecah belah dan sibuk sendiri-sendiri untuk merapihkan carut
marut kehidupannya masing-masing dan sedang berkurang rasa kebersamaan
karena lagi tren sikap individual. Om Tante tenang-tenang saja dulu
& aku akan terus berdoa kok Om Tante biar kami bersatu dan semua
bisa kita bicarakan baik-baik sambil duduk bersama menikmati pisang
goreng, kacang dan Teh hangat agar kami punya wakil yang mewakili kami
untuk berbicara kepada si pembuat kebijakan karena kami juga sepertinya
sedang bingung untuk berbicara langsung dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar