Selasa, 11 Juni 2013

Saat Aku (Si Stroke Survivor) Belajar Membuat Nasi Goreng

1 Juni 09:00Wib
Pagi ini seisi rumah sibuk luar biasa. Papah sibuk bengong dan menonton keadaan di sekitarnya, Arief adik bungsuku sibuk tidur karena bergadang semalaman, Rina adikku sibuk menjaga warung kami karena ada 6 mulut di rumah ini yang perlu diberi makan agar hidup terus berlanjut, Manda adikku sudah pergi bekerja dan terakhir Mamah, dia sedang sibuk beres-beres rumah kami yang ‘super mewah dan megah’ karena Nur adikku dari Majalengka dipindah tugaskan ke Subang sehingga barang-barangnya (2 lemari, 1 sepeda, 1 televisi dan 1 meja televisi) akan di simpan di rumah kami sehingga otak harus di putar keras untuk menentukan letak dan posisi, dan itu bukan hal yang mudah, trust me. Aku sendiri saat itu sedang sibuk makan kue karena baru bangun setelah aku kembali tidur sehabis shalat dan mengaji subuh. Di tengah diamku, Mamah datang mengganggu ritual pagiku dan memintaku membuat sarapan untuk seisi rumah karena perut sudah mulai teriak meminta sesuatu kemudian dia juga membangunkan Arief. Aku tahu perintahnya tidak akan bisa ditawar. Titahnya bersifat harus jika ingin dunia aman sentosa, wkwkwk (lebay).

Aku ke dapur dan mulai berpikir akan membuat sarapan apa. Bingung sih dan sepertinya aku akan membuat omlet mie saja, tapi rasanya bosan juga karena semenjak sakit hanya omlet mie atau mie goreng yang terus kumasak jika dimintai untuk masak. Aku mulai memutar otak dan hatiku mantap untuk memasak nasi goreng, acar timun dan telur dadar.

Aku ke warung dan mengambil kol/kubis, timun, telor, bawang merah, bawang putih, daun bawang, kecap, cabe rawit dan baso. Saat masuk ke dalam rumah, sambil menenteng plastik berisi bahan masakan, aku meminta tolong pada Arief untuk membantuku memasak tapi dia menolak mentah-mentah dengan nada ketus.

Marah? Jelas hatiku marah, aku kesal dan aku mulai mengupas bawang merah dan putih sambil menggerutu “Fisikku cacat tapi hati dan pikiran adikku justru ikut cacat!”. Lalu aku dan diriku mulai berdialog (ya selalu ada interdialog). Aku mulai memberi pengertian pada diriku bahwa Arief baru bangun, mood nya sedang tidak bagus dan aku meminta pengertian pada diriku, hasilnya aku mulai tersenyum dan mengupas bawang pun menjadi jauh lebih mudah.

Kupikir sebaiknya aku mengajak Papah saja, dia kan teman duetku. Lalu aku berkata “Pah ayo bantu aku masak. Aku tangan kanan dan Papah jadi tangan kiriku.” Namun Papah menolak dan wajahnya menjadi murung. Sudah terlalu lama dia diam tanpa melakukan banyak hal, sepertinya dia belum percaya diri untuk masak jadi ya sudah aku lanjutkan saja memasak sambil berdoa bahwa suatu hari nanti Papah akan ada disampingku untuk memasak bersamaku dengan tawa bahagia.

Setelah beres mengupas bawang merah dan putih, aku berpikir cara untuk mengirisnya karena bawang terlalu kecil, Mamah lewat dan menyarankan agar aku menumbuknya saja, aku pikir itu adalah ide yang cerdas, maka aku pun mulai menumbuknya. Setelah itu, aku mulai memotong timun berbentuk dadu kurang lebih berukuran 1×1 cm walau hasilnya tidak semua berukuran sama. Beres timun aku mulai mengiris cabe rawit dan hasilnya juga tidak begitu bagus karena ada yang kecil dan ada yang besar (hahaha). Saat mengiris cabe rawit aku meminta Arief memotretku dan dengan berat hati dia pun melakukannya. Usai mengiris cabe rawit, aku lanjutkan mengiris daun bawang dan hasilnya luar biasa buruk padahal dulu saat belum cacat, aku harus mendapatkan hasil yang cantik dalam hal iris mengiris setiap kali aku memasak dan kini aku harus ikhlas menerima hasil irisanku yang bentuknya tidak jelas. Kemudian aku mengiris baso (hasilnya lumayan bagus), lalu mengiris kubis yang hasilnya jelas tidak bagus.

Beres iris mengiris, aku mulai tahap memasak, pertama-tama aku mulai mencampur timun dan cabe rawit lalu menyiramnya dengan kecap dan acar pun beres (Kenapa aku membuat acar tidak mencampurnya saja ke dalam nasi, itu karena Papah tidak bisa makan pedas). Setelah itu aku mulai membuat telur dadar dan hasilnya cukup bagus karena bentuknya bulat dan rapih. Kemudian babak membuat nasi goreng pun di mulai. Minyak goreng dipanaskan, kemudian tumis bawang yang sudah dihaluskan, setelah wangi maka masukkan daun bawang dan baso setelah itu masukkan kubis. Oseng-oseng hingga matang kemudian aku mulai memasukkan nasi perlahan-lahan. Api kompor kubiarkan kecil agar masakan tidak gosong dan aku mengaduk pelan sekali. Selanjutnya kutambahkan kecap, lalu sedikit penyedap rasa karena aku masih diet rendah garam jadi seisi rumah ikut kena imbasnya (hehehe).

Takut nasi tumpah saat aku mengaduk nasi, maka otaku berputar dan aku melakukan hal extreme, aku melapisi telinga katel (baca penggorengan) dengan lap agar tidak panas lalu telinga katel pun ku gigit agar katel tidak goyang sementara tangan kanan mengaduk nasi (itu membahayakan, untuk hal ini, sangat diperlukan keahlian jadi don’t try at home ya!) Mamah melihat dan berteriak agak histeris saat melihatku menggigit telinga katel tapi semua sudah beres, nasi goreng, telur dan acar sudah jadi dan kami sarapan bersama. Sarapan yang sudah lewat jamnya karena waktu sudah menunjukkan pukul 10:30 tapi ini adalah nasi goreng ternikmat, hehhehe (narsis).

1370065366733302704
nasi goreng, telur dadar dan acar timun

Ini hanya sekedar membuat nasi goreng, hal mudah dan tidak luar biasa untuk kalian tapi ini adalah prestasi bagiku. Aku semakin sadar bahwa kecacatan yang ku alami bukanlah sebuah halangan dan tidak ada yang perlu di lebih-lebihkan dengan kondisi ku ini. Semua biasa saja dan beginilah seisi rumah mendidikku untuk belajar semakin mandiri “Kadang kita bisa melakukan sesuatu saat dalam keadaan terpaksa.” Dan itu benar, karena terpaksa lah maka aku bisa memasak nasi goreng bukan hanya omlet mie atau mie goreng.

Aku sedang belajar, alam sedang melatihku dan hidup ini akan semakin indah dengan segala macam proses indah yang kujalani jika kusertai dengan senyum. Fisikku memang cacat namun hati, pikiran dan semangatku tidak boleh ikut cacat! Terima kasih Ya Rabb untuk hadiah nasi goreng di awal Juni ini. Juniku, Juni bahagia, Juni penuh cinta dan kejutan. Terima kasih dan aku tahu Engkau terus menuntunku, membelai hatiku dan memelukku, terima kasih karena Engkau sudah mengenalkan cintaMu padaku, . I love Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar