Selasa, 26 Maret 2013

Hujan mempertemukan pada kenangan masa lalu

 “Kunaon kamu Yah? Titadi asa cicing wae?” (Kenpa kamu Yah? Daritadi perasaan kok diam saja?)
“Iya vin aku lagi bingung nih.” Jawab Aliyah saat Vina menghampirinya yang sedang duduk diam di koridor sekolah saat jam istirahat pelajaran.
“Bingung kenapa?  Sok atuh carita?(Ayo cerita dong!)
“Emak pengen punya Oven Vin!”
“Oven buat apa?”
“Emak mau bikin kueh untuk dijual. Sekarang kan musim hujan, jualan Es Teh mana laku!”
“Ya jual gorengan saja atuh, pasti laku!”
“Kata Emak gorengan nggak sehat Vin. Aku pengen beliin oven buat Emak, tapi nggak ada uang. Uang jajanku dikumpulin juga mana cukup!”
“ Hese ari ahli gizi mah, dagang oge mikirkeun kesehatan. Sabarahaan sih harga Oven?( Susah kalau ahli gizi, berjualan saja memikirkan kesehatan. Berapa sih harga Oven?)
“Kemarin sih waktu Emak bayar cicilan kredit lemari, Emak nanya ke tukang kredit. Aku denger harga Oven katanya 200ribu Vin.”
“Hemmm aya-aya wae atuh si Emak teh!” (ada-ada saja si Emak tuh!)
 “Tettttttttttttt” Terdengar bunyi bel sekolah menandakan jam pelajaran kembali dimulai. Semua murid yang tengah asik dengan semua aktivitasnya lalu berlarian menuju kelas masing-masing begitu mendengar bunyi bel.
“Yu masuk Vin nanti kita ngobrol lagi!” Ajak Aliyah.
“Hayu” Jawab Vina sembari bangkit dari duduknya lalu mereka berdua berjalan dengan santai menuju kelas. Selama pelajaran berlangsung Aliyah masih saja terus memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan uang dua ratus ribu. Baginya yang baru saja duduk di kelas 1 SMP tentu saja itu adalah uang yang banyak. Dia sudah mengkalkulasikan jika ia mengumpulkan dari uang jajannya yang hanya dua ribu rupiah per hari. Artinya dia harus mengumpulkan uang selama seratus hari. Sedangkan Aliyah ingin menghadiahkan Oven itu untuk perayaan hari Ibu tanggal 22 Desember yang artinya hanya dua puluh hari lagi.
Bagi Aliyah, Emak adalah satu-satunya Ibu yang dia miliki selama enam tahun ini. Enam tahun yang lalu Ibu kandung Aliyah meninggal karena penyakit Jantung saat Aliyah berusia 7 tahun dan setelah itu Aliyah diurus oleh Emak Asih yang dulu adalah pembantunya sedangkan ayah Aliyah sendiri sudah lama meninggal saat Aliyah masih berusia satu tahun karena sebuah kecelakaan.
Aliyah ingat betul semasa Ibunya masih hidup, dia, Emak dan Ibu hidup bertiga dalam kebahagiaan. Ibu Aliyah adalah seorang pembuat kueh dan Emak Asih yang selalu membantu aktivitas ibunya. Kueh kueh buatan ibu Aliyah terkenal sangat enak dan dia selalu kebanjiran pesanan dari ibu-ibu arisan, ibu-ibu PKK, acara pengajian dan banyak acara lainnya. Di masa itu Aliyah adalah seorang Putri, tidak sulit untuk mendapatkan mainan yang diinginkannya atau apapun yang diinginkan akan selalu dia dapatkan dengan mudah karena masih ada Ibu yang mampu membelikannya.
Keluarga bagi Aliyah hanyalah Emak dan Ibu dan semenjak Ibunya meninggal, Emak lah yang mengasuh Aliyah karena tidak ada keluarga lain dari pihak Ayah ataupun Ibu Aliyah yang dikenal untuk mengasuh Aliyah. Emak sudah mengurus dan menjaga Aliyah semenjak Aliyah lahir dan karena itulah Emak tidak sampai hati menitipkan Aliyah dipanti asuhan karena baginya Aliyah sudah seperti anak sendiri dan jadilah mereka hidup bersama seperti Ibu dan anak kandung sepeninggal Ibu. Dengan tulus Emak mengurus Aliyah dan menyekolahkannya.
Untuk mendapat penghasilan biaya hidup sehari-hari, Emak membuat Es Teh dan menitipkan diwarung-warung dan kantin sekolah Aliyah yang letaknya tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Biasanya di setiap musim penghujan, Emak akan bekerja di warung nasi Mas Heru yang berada di depan gang rumah mereka. Tapi musim hujan kali ini Emak tidak ingin bekerja di warung nasi karena dirinya yang makin tua sudah mulai sering encok dan badannya mudah lelah akibat usia emak yang semakin tua sehingga Emak ingin berjualan kueh saja seperti saat Ibu masih ada.
Emak sudah tahu resep dan cara membuat kueh karena dulu sering membantu Ibunda Aliyah. Hampir semua peralatan membuat kueh masih lengkap. Mulai dari loyang-loyang, cetakan, Mixer pengocok kueh dan yang lainnya. Hanya saja Oven peninggalan Ibu sudah rusak dan tidak bisa digunakan. Aliyah begitu menyayangi Emak dan berharap di hari Ibu kali ini bisa memberikan sesuatu yang special untuk Emak. Selama ini Aliyah selalu jadi anak yang baik dan penurut. Dia lembut dan pantang mengeluh, Emak selalu berkata “Kamu persis sekali dengan Ibumu Yah!”

*****
“Hayu Yah, urang balik!” (Ayo Yah, kita pulang!) Ucap Vina mengagetkan Aliyah yang tengah asik melamun.
“Lho gurunya kemana?” Tanya Aliyah.
“Ah basi, udah daritadi kali selese. Kamu ajah yang terus bengong. Untung tadi pas Bu Lubis ngajar teu merhatikeun maneh!” (nggak merhatiin kamu!) Ucap Vina dengan santai.
“Astagfirullah!”
“Buru tuluykeun carita nu tadi. (Cepat lanjutkan cerita yang tadi.) Ucap Vina khas dengan logat Sundanya. Vina adalah teman sekelas Aliyah yang juga menjadi sahabat Aliyah tempatnya bercerita segala macam. Vina santai dan cuek namun seorang pekerja keras walaupun masih bersekolah dan otaknya adalah otak seorang ekonom handal sehingga Aliyah yakin bahwa Vina bisa memberikan solusi untuknya.
“Bingung kan?” Tanya Aliyah usai menceritakan semua pada Vina.
“Ah gampil, cetek atuh eta mah!” (Ah gampang, kecil itu mah!) Ucap Vina sambil menyentuh kelingkingnya dengan Ibu jari.
“Maksudnya Vin? Jadi kamu tahu aku harus gimaa?” Ucap Aliyah dengan girang.
“Geus tangtu eta mh!” (sudah pasti itu mah!)
“Ah kamu memang sahabat yang bisa aku andelin! Thank you Vina! Sekarang aku harus gimana?”
“Tuh!” Ucap Vina sambil menunjuk StudioMall salah satu Mall terbesar di kota Bandung yang letaknya persis berada disebrang sekolah mereka.
“Maksudnya?” Tanya Aliyah heran.
“Tempat itu yang bakal ngasih duit buat kamu Yah” Ucap Vina lalu Vina menyampaikan idenya pada Aliyah. Yaitu menjadi ojeg payung pada sore hari di salah Studio Mall karena saat ini musim penghujan dan upah ojeg Payung adalah lima ribu untuk mengantarkan satu orang dari Mall menuju tempat parkir dan dia menyarankan Aliyah mendapatkan dua orang dalam sehari sehingga Aliyah aka mendapat uang sepuluh ribu per hari dan dalam dua puluh hari sudah bisa mengumpulkan dua ratus ribu.
“Kumaha? Edek moal?” (Bagaimana? Mau tidk?) Tanya Vina
“Hemmm gimana ya? Pasti nggak akan boleh sama Emak.”
“Ya nggak usah bilang-bilang! ”
“Trus kalo pamit perginya gimana setiap hari?”
“Gampang, bilang aja latihan nari untuk kegiatan sekolah jadi latihan tiap hari. Baju dines ngojeg pake bajuku saja kan kita bajunya seukuran jadi bajumu moal kotor!” (Nggak akan kotor)
“Emang ada baju dines nya ya Vin?”
“Hahahahahaha nya henteu atuh sateh!”(Ya nggak dong!) Jawab Vina
“Trus?”
“Begini maksudnya Nona Aliyah Ayu Natsira, kamu kan kalau nanti ngojek bajunya pasti kotor kena cipratan air ujan jadi baju yang kamu pake disimpen dan pake baju aku karena kalau baju kamu kotor kan Emak pasti nanya!”
“Oohhh. Kamu pinter banget sih Vina Rizky Mahesa!”
“Eh Vina tea atuh!” (Vina gitu lho!) Ucap Vina sambil memegang kerah seragam sekolahnya. “Ya udah nanti setengah lima kita ketemu digerbang StudioMall itu ya. Jangan telat, piraku imah deket telat!”(masa rumahnya dekat telat!) Ucap Vina melanjutkan ucapannya.
“OK!”
Mereka berdua lalu pulang dan karena rumah Aliyah dekat dari sekolah maka ia cukup berjalan kaki saja tanpa harus naik angkot seperti Vina. Dia tidak sabar ingin segera menjalankan rencananya dan berdoa agar Emak tidak mengetahui dirinya berbohong untuk pertama kalinya. Aliyah sebenarnya tidak tega tapi tidak ada jalan lain dan ia juga berdoa agar tetangganya tidak melihatnya lalu melaporkannya pada Emak, maklum rumah Aliyah dekat dari StudioMall.

*****
Tiba waktu yang disepakati, Aliyah pun berpamitan pada Emak dan lolos dengan mudah karena Emak tidak sedikitpun menaruh curiga. Bersama Vina mereka memasuki gerbang StudioMall “Aku memasuki gerbang sumber rezekyku!” Ucap Aliyah dalam hati. Tiba di halaman StudioMall yang luas hujan sudah mulai turun rintik-rintik dn Vina mengajak Aliyah dibawa pada Kang Doni koordinator ojeg payung StudioMall dan dari Kang Donilah mereka mendapat Payung yang akan mereka gunakan dengan biaya sewa lima ribu rupiah perhari.
“Iyeuh Payungna geulis, ngadua weh supados hujan sing ageung nya!” (Ini payungnya cantik, berdoa saja supaya hujan cukup deras ya.) Ucap Kang Doni dengan santun.
“Iya Kang. Nuhun.”(terima kasih) Ucap Aliyah sambil menerima Payung yang lebih besar dari dirinya dan berjalan menuju pintu masuk StudioMall setelah Vina juga mendapatkan payungnya. Di sekitar pintu masuk sudah ada para pengojeg lain yang usiany tidak begitu jauh dari Vina dan Aliyah lalu Vina memperkenalkannya satu persatu pada Aliyah. Vina memang jadi pengojeg payung setiap hari selama musim penghujan pantas dia kenal dengan pengojeg payung lainnya. Vina menjadi pengojeg payung ataupun berjualan gorengan keliling untuk biaya sekolah karena dia begitu gigih ingin sekolah berbeda dari pengojeg payung lain yng rata-rata putus sekolah dan malas bersekolah dan Vina juga pintar itu yang membuat Aliyah akrab dengannya.
Setiap kali ada orang yang keluar dari mall, para pengojeg payung bangkit dan menawarkan jasanya dengan santun secara bergiliran. Selama menunggu giliran Aliyah ngobrol dengan Vina dan para pengojeg Payung lainnya tentang banyak hal. Dalam hujan mereka bertemu dengan rezeky, hujan deras adalah dambaan karena mereka akan kebanjiran rupiah sebagai imbalan. Berharap orang-orang tidak memiliki payung dan mereka sang penakluk hujanlah yang akan dicari. Berjalan dari pintu masuk menuju pintu mobil atau parkiran motor dan menemani selama menggunakan jas hujan. Mereka adalah pahlawan tanpa alas kaki bersenjatakan payung dan bersahabat dengan dinginnya hujan.
Jangan tanya dimana jaket karena berlari akan membuat gerah sehingga dinginnya hujan tetap hangat bagi mereka. Dalam hujan mereka bertemu tawa dan ucapan terima kasih dari orang-orang dan itu sudah cukup menambah kegembiraan. Hujan yang dibenci sebagian orang adalah senyuman di bibir mereka. Setiap langkah kaki mereka dalam rintik hujan adalah harapan. Hujan mencoba menghantam dan mengamuk seolah ingin mereka pergi dengan wajah tertunduk. Tapi dada para pengojeg payung justru semakin busung saat hujan semakin deras pertanda pantang mundur.
Malam itu Aliyah dan Vina pulang pukul delapan dan Aliyah mendapatkan uang dua puluh ribu rupiah. Ada lima orang yang menggunakan jasanya dan masing-masing membayar sesuai tarif lima ribu rupiah dan lima ribu rupiah dia serahkan pada Kang Doni. Tentu saja senyumnya tidak berhenti mengembang membayangkan jika setiap hari menerima dua puluh ribu artinya cukup bekerja sepuluh hari atau menambah beberapa hari lagi untuk membeli kue tart juga baju baru untuk Emak pikir Aliyah. Dia pulang dengan perasaan gembira dan tekadnya semakin bulat untuk menjadi pengojeg payung dan berharap hujan deras setiap hari dan berdoa dalam hati agar Emak tidak tahu.
Berhari-hari kegiatan Aliyah bertambah yaitu menjadi pengojeg Payung hingga di hari kedelapan saat ia mendapatkan giliran untuk menawarkan jasanya, dia menawarkan jasa payung pada seorang laki-laki berusia 30 tahunan yang berpakaian sangat rapih dan tampa yang sedang berdiri di depan pintu keluar Mall.
“A Payungnya A?” Tanya Aliyah dengan ramah.
“Boleh anter saya kesana ya.” Ucap sang laki-laki tersebut sambil menunjuk parkiran mobil.
“Ayo A.”
“Ayo. Sini saya yang pegang payungnya kan saya lebih tinggi, kalau kamu yang pegang percuma dong.” Ucapnya sambil tersenyum.
“Oh Iya ya, ini A.” Ucap Aliyah malu-malu sambil menyerahkan payung lalu mereka berjalan bersama menuju tempat parkir.
“Kamu ngapain jalan di belakang saya? Sini sebelah saya. Kena hujan sakit nanti kamu.”
“Nggak apa-apa A biasa juga gini.” Ucap Aliyah.
“Nggak ada alesan, memang tampang saya tampang raja tega? Udah sini pake payung sama-sama.” Ucap laki-laki tersebut sambil menarik lengan Aliyah dan terus memegangnya hingga tiba di mobil yang dituju laki-laki itu. Setelah masuk kedalam mobil dan menyerahkan payung laki-laki itu juga menyerahkan uang dua puluh ribu rupiah.
“Ini kembaliannya A!” Ucap Aliyah menyerahkan uang lima belas ribu rupiah.
“Nggak usah buat kamu aja.”
“Nggak usah A, hak saya Cuma lima ribu. Aa ambil aja lumayan buat sedekah ditempat lain.”
“Udah ambil, rezeky jngan ditolak. Oh iya nama kamu siapa?”
“Aliyah A!”
“Wajah kamu cantik dan mengingatkan saya pada seseorang yang namanya juga kebetulan sma. Tapi Cuma kebetulan saja barangkali.” Ucapnya lalu berpamitan dan menutup pintu mobil. Saat mobil melaju Aliyah melihat dompet dan mengambilnya dan ternyata milik laki-laki tadi memeluk seorang perempuan dan betapa kagetnya Aliyah melihat wajah perempuan itu. Dia hafal pemilik wajah itu walau sudah enam tahun tidak berjumpa. Tapi dia yakin dan itu tidak akan salah, itu adalah wajah ibunya. “Jangan-jangan yang dimaksud laki-laki tadi bahwa wajahku mengingatkannya pada seseorang memang Ibu. Lagipula nama kami memang sama, nama Ibu adalah Zahra Aliyah Subekti.” Pikir Aliyah. Aliyah memeriksa dompet dengan ragu, ada KTP disana dan dia baca nama yang tercantum adalah Ibnu Wibawa yang beralamat di Setra Sari.

*****
Hari itu Aliyah pulang dengan perasaan gembira karena membawa pulang uan empat puluh lima ribu rupiah “laris manis.” Ucapnya pada Vina setelah menyerahkan selembar uang sepuluh ribu rupiah.
“Syukur atuh.” (Syukur dong.) Ucap Vina lalu berkata kembali “Tapi yeuh teu kudu. Kamu kan leuwih butuh.” ( tapi ini nggak usah. Kamu kan lebih butuh.) Ucap Vina mengembalikan uang pemberian Aliyah.
“Ambil Vin, tolong. Aku ikhlas kok, lumayan buat kamu jajan.”
“Ok, sip Nuhun nya!” Ucap Vina.
Tiba dirumah Aliyah melihat tabungan uangnya di dalam lemari dan sudah terkumpul uang sebanyk seratus sembilan puluh ribu rupiah ditambah penghasilannya hari ini. “Besok satu hari lagi.” Ucap Aliyah lalu ia bersiap tidur dan mengambil dompet yang dia temukan. Dia terus menatap foto di dalam dompet. Dia yakin itu ibunya tapi laki-laki yang memeluk bukan ayahnya dia yakin. Untuk memastikan Aliyah mengambil foto Ayah Ibunya yang ada di meja belajar lalu membandingkannya dan benar itu bukan Ayahnya. Ia tertidur dan terus bertanya dalam hati siapa laki-laki itu. Kenapa laki-laki itu memeluk Ibunya dari belakang. Aliyah ingin bertanya pada Emak mungkin saja Emak mengenalnya tapi urung dilakukan karena takut Emak akan tahu dirinya jadi pengojeg payung.
Keesokan harinya disekolah Aliyah menceritakan dompet temuannya pada Vina dan mengusulkan untuk mengembalikan kepada pemilik dompet sepulang mereka sekolah dengan naik angkot.
“Bisi neangan nu boga na.” (siapa tahu yang punya sedang mencari-cari.) ucap Vina dan disetujui Aliyah dengan anggukan kepala. Sepulang sekolah Aliyah dan Vina berpamitan pada Emak dan Vina yang meminta izin pada Emak dengan mengatakan bahwa dirinyalah yang menemukan dompet dan minta ditemani Aliyah. Emak memeriksa dompet “Untung foto udah disimpen.” Ucap Aliyah dalam hati ketika Emak memeriksa dompet dan mengembalikan kembali dompet pada Vina saat melihat ada delapan lembar uang seratus ribu rupiah dan tidak memeriksa lagi yang lainnya “Yeuh jug geura pulangkeun kade tong dikurangan duitna.” (Ini sana kembalikan, awas jangan dikurangi uangnya.) Ucap Emak dan mempersilahkan juga mewanti-wanti Aliyah dan Vina untuk berhati-hati.
Setelah berulang kali naik turun angkot dan berjalan kaki mereka tiba di alamat yang dituju. Sebuah rumah mewah yang indah dan dengan ragu-ragu mereka memencet bel lalu keluarlah seorang perempuan.
“Punteun Teh.” Ucap Vina dengan santun dan tersenyum.
“Mangga.” Jawab perempuan itu.
“Bener teh ini rumah Pa Ibnu?”
“Bener.”
“Pa Ibnunya ada?”
“Nggak ada, lagi kerja.”
“Oh tadinya kita mau ngembaliin dompet Pa Ibnu.”
“Ya udah siniin aja neng.”
“Ngga bisa Teh, saya kudu ngembaliin diterima langsung Pak Ibnu.”
“Ya udah tunggu sebentar saya tanya juragan istri dulu.” Ucapnya lalu kembali kedalam rumah meninggalkan Aliyah dan Vina.
“Masuk dulu neng.” Ucap wanita itu sambil membuka gerbang mempersilahkan Vina dan Aliyah untuk masuk dan duduk dikursi teras rumah yang luas saat wanita itu kembali lagi.
“Edan nya Yah, teras na wae sagede kieu komo jerona!” (Edan ya Yah, terasnya saja sebesar ini apalagi di dalamnya.) Ucap Vina.
“Rumah orang kaya Vin.”
Tidak lama perempuan itu kembali dengan membawa dua gelas jus Jeruk. “Den Ibnu sudah di telpon juragan istri neng jadi tunggu aja.” Ucapnya.
“Iya makasih Mbak, maaf merepotkan.” Ucap Vina diikuti anggukan dan senyum Aliyah lalu perempuan itu masuk kembali ke dalam rumah.
“tinnnnnn tinnnn” terdengar suara klakson mobil lalu perempuan tadi berlari tergesa-gesa membuka pagar dan keluar laki-laki dari setelah mobil diparkirkan, laki-laki yang Aliyah kenal dan pernah memberi dua puluh ribu untuk jasa ojeg payungnya.
“Ternyata kamu yang nemuin dompet saya cantik?” Ucap Ibnu ketika melihat Aliyah dan Vina.
“Iya A, kenalin ini Vina temen saya A.”
“Vina. Ini dompetnya A, sempet kita bongkar untuk liat KTP tapi periksa dulu aja siapa tahu ada yang hilang.” Ucap Vina sambil menyerahkan dompet.
“Ibnu.” Jawab Ibnu sambil tersenyum lalu memeriksa dompet “Loh kok fotonya nggak ada? Yang lain sih kumplit.”
“Foto?” Tanya Vina.
“Oh iya ini A.” Ucap Aliyah mengambil buku kecil yang disebut Binder dari dalam tas nya lalu mengambil foto yang diselipkan di Binder lalu menyerahkan pada Ibnu.
“Yah bener ini, makasih ya, ini foto terakhir saya bareng dia. Yu silahkan duduk kita ke dalem yu untuk makan sama-sama.”
“Nggak usah A, kita mau pulang biar nggak kehujanan.” Ucap Vina.
“Gampang nanti saya anter.”
“Tapi kita harus ngojeg Payung A.” Ucap Vina kembali.
“Libur dulu ya hari ini aja plis.”
“Iya nggak apa-apa Vin hari ini aja.” Ucap Aliyah.
“Tapi kan uang kamu untuk Emak masih kurang.” Ucap Vina setengah berbisik  dengan ekspresi kesal diwajahnya.
“Ssstt.” Ucap Aliyah pada Vina lalu berkata pada Ibnu“Maa f A Ibu di dalam foto itu namanya Zahra Aliyah? Aa bilang wajah saya mengingatkan sama seseorang dan nama kami sama maksudnya dia?”
“Iya, kamu kenal? Dimana dia sekarang?” Jawab Ibnu bertanya heran.
“Di surga.”
“Maksud kamu.” Bentak Ibnu sambil bangkit dari duduknya.
“Iya A, itu Ibu Aliyah, Ibu sekarang ada di surga.”
“Nggak mungkin. Sini kamu.”Bentak Ibnu lalu membuka pintu lalu masuk diikuti Vina dan Aliyah. Setelah melewati ruang tamu mereka masuk ke dalam ruang keluarga. Ada seorang wanita tua yang sedang duduk santai menonton televisi dan sekarang mengalihkan pandangan pada mereka bertiga.
“Sopo Nu?” (Siapa Nu?)Tanya wanita itu dalam logat Jawa dan halus sekali diikuti senyum Aliyah dan Vina sedangkan yang ditanya tidak menjawab hanya berdiri kaku sambil berkacak pinggang.
“Say Vina bu, ini Aliyah yang nemu dompet A Ibnu.” Ucap Vina sambil tersenyum. Senyum yang dipaksakan karena sebenarnya takut pada ekspresi Ibnu setelah Aliyah mengatakan Ibunya di surga.
“Lihat” Ucap Ibnu menunjuk foto-foto yang menggantung dan itu adalah foto Ibu Aliyah dan Aliyah tersenyum melihat wjah ceria Ibunya di dalam foto penuh gaya dan manis yang belum pernah ia lihat dan juga ada beberapa foto Ibunya bersama Ibnu. Berpelukan, ada juga saat Ibnu mencium pipi Ibunya, menggendong dan banyak foto mesra lainnya. “Lihat baik-baik. Barangkali kamu salah lihat mungkin kamu salah “ bentak Ibnu.
“Nggak salah, Aliyah nggak mungkin salah A. Itu Ibu Aliyah. Ibu yang kata Emak ada di surga karena meninggal enam tahun yang lalu.” Jawab Aliyah lalu Ibnu duduk dan matanya merah.
“Mereka ini siapa Nu? Kok kamu tunjukin foto Aliyah?”
“Saya Aliyah Bu, itu foto Ibu saya.” Jawab Aliyah.
“Astagfirullah, kamu anaknya Zahra Aliyah?”
“Iya. Sebenernya Aa dan Ibu siapa dan kenapa kenal Ibu saya.”
“Aku nenekmu nak, Zahra Aliyah itu ya anakku.”
“Nenek?” Tanya Aliyah
“Bukan bu dia bukan anak Kak Zahra, dia bohong! Nggak mungkin Kak Zahra udah meninggal.” Ucap Ibnu yang kini mulai terisak
“Inalillahi, Zahra meninggal? Zahra Aliyah anakku”
“Nggak mungkin!” Ucap Ibnu.
“Sini nak. Peluk nenek.” Lalu Aliyah menghampirinya dan memeluknya.
“Ipah” Ucap wanita itu yang menyebut dirinya nenek Aliyah lalu perempuan bernama Ipah muncul yaitu perempuan yang tadi mempersilahkan masuk dan menyediakan minum. Dia membantu nenek untuk duduk dikursi roda lalu mengikuti instruksi nenek untuk mendorongnya menghampiri Ibnu ang kemudian menghambur kepeluknya.
“Aku belum ketemu Kak Zahra Mah. Nggak mungkin dia pergi ninggalin aku selamanya Mah. Waktu itu dia pergi karena Papah nggak setuju Kak Zahra nikh sama Mas Pratama bukan untuk pergi selamanya.” Ucap Ibnu .
“Sini Nak.” Panggil nenek itu dan menyuruh Aliyah untuk duduk disamping Ibnu dan Vina dengan wajah heran dan karena tidak dipersilahkan maka dia berinisiatif untuk mengambil posisi dan duduk di kursi yang kosong memperhatikan Aliyah, Ibnu dan nenek yang baginya seperti tayangan di sinetron “Si Aliyah berarti jalma beunghar mun ieu bener teh!” (si Aliyah berarti orng kaya jika ini semua benar!) ucapnya dalam hati.
“Sekarang kamu ceritain dimana Zahra sebenarnya dan dimana ayahmu?” Tanya Nenek lalu Aliyah menceritakan semuanya diikuti isak tangis Ibnu yang ternyata adalah adik satu-satunya Ibunya dan memiliki hubungan yang sangat dekat dan artinya Ibnu adalah Om nya.
Dari Nenek akhirnya Aliyah tahu Ayahnya yang bernama Pratama adalah anak yatim piatu yang dibesarkan oleh Nenek dan Kakek lalu sesudah dewasa ternyata Ayah jatuh cinta pada Ibu Aliyah yang dibesarkan bersama sejak kecil dan membuat Kakek murka. Ibu dan Ayahnya menikah tanpa restu Kakek dan pernikahan Ayah Ibunya hanya di hadiri Om Ibnu karena Nenek tidak berani membantah Kakek. Karena selalu di teror Kakek yang juga sudah meninggal dua tahun lalu maka Ibunya pindah ke Bandung bersama Ayah juga Emak Asih mantan pembantu keluarga mereka yang diperintahkan Nenek untuk menjaga Ibu Aliyah.
Dua belas tahun yang lalu dari wartel stasiun kereta api Gubeng Emak Asih menelpon Nenek memberi tahu bahwa Ibu, Ayah dan Emak Asih akan pindah ke Bandung kota Emak Asih berasal dan akan tinggal dirumah yang sudah dibeli Ayah sebelumnya namun Emak Asih tidak tahu alamatnya. Setelah kakek meninggal, Nenek pindah ke Bandung mengikuti Om Ibnu yang sudah lebih dulu pindah saat tahu Ibu Aliyah berada di Bandung dengan alasan kuliah pada Kakek.
Semenjak kuliah hingga saat ini Om Ibnu terus mencari Ayah dan Ibu Alyah namun tidak hasilnya nihil dan ketika mendapat kabar justru menerima kabar duka. Setelah itu Om Ibnu dan Nenek bergantian memeluk Aliyah diikuti derai air mata. Setelah itu Aliyah bersama Vina, Om Ibnu dan Nenek pergi bersama ke pemakaman di Sirnaraga tempat Ayah dan Ibu Aliyah dimakamkan.
Nenek mengajak Aliyah tinggal bersama namun menolak jika belum seizin Emak. Maka saat mengantarkan Aliyah pulang setelah sebelumnya mengantar Vina. Nenek dan Om Ibnu menangis berpelukan saat bertemu Emak dan saling bertukar cerita. Nenek mengajak Aliyah dan Emak untuk tinggal bersama namun Emak tolak dengan halus dengan alasan tidak mau meninggalkan rumah peninggalan Ibu dan Ayah dan karena Nenek memaksa maka Emak membolehkan Aliyah untuk menginap dirumah Nenek.
Pertemuan Nenek, Om Ibnu dan Aliyah adalah sebuah keajaiban yang diciptakan oleh hujan saat Aliyah menjadi pengojeg Payung. Hujan yang mempertemukan tanpa banyak berkata. Hujan yang turun untuk sebuah cinta. Hujan yang menjadi bagian penting saat Aliyah mencari rezeky.
“Om Ibnu, sibuk nggak?” Tanya Aliyah pada Ibnu yang malam itu sedang santai menonton televisi bersama Nenek.
“Nggak cantik, kenapa?”
“Ini Om.” Ucap Aliyah menyerahkan uang seratus sembilan puluh ribu rupiah miliknya.
“Itu uang hasil Aliyah ngojeg payung Om.”
“Buat Om?”
Aliyah menggelengkan lalu berkata “Emak nggak pernah tahu Aliyah jadi ojeg Payung. Aliyah jadi ojeg payung karena pingin kasih hadiah untuk Emak. Besok hari Ibu dan Aliyah pingin kasih Oven Om tapi masih kurang sepuluh ribu dan Aliyah mau minta anter beli Oven Om.”
“Besok Nenek juga ikut beli Ovennya ya, biar nenek yang tambahin kurangnya.
Keesokan harinya mereka pergi ke toko peralatan rumah tangga di jalan Abc dan membelikan Oven dan mampir ke Pasar Baru untuk membelikan Emak baju. Sebelum ke rumah di jalan Turangga, terlebih dulu mereka membeli kueh tart di slah satu toko kueh kecil namun terkenal di jalan Laswi. Emak terharu dengan hadiah yang diterima terlebih saat mengetahui Aliyah menjadi ojeg payung sekaligus marah karena sudah berbhong. Tapi kasih sayang lebih besar dibanding amarah hingga air mata lah yang akhirnya berbicara, air mata haru bahagia.


Hujan tuntun aku menuju indahnya pelangi setelah hujan
Hujan pertama yang kutemui dengan suka cita
Hujan yang tidak banyak berkata-kata tapi mengantar pada makna
Hujan mempertemukan pada kenangan masa lalu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar